Assalammu'alaikum Warahmatullah :)


14 Februari 2011

Jawaban Ringkas Atas Kesalah Fahaman Tentang "Salafiy"

Berkata, Al-'Allamah Asy-Syaikh 'Aliy Hasan Al-Halabiy al-Atsary -hafizhohullah- :

Anda telah mendengarkan bersama, untaian kalimat yang mengandung penjelasan seputar ad-Da'wah as-Salafiyah, ajaran-ajaran pokoknya yang 'Ilmiyyah, yang berkaitan dengan 'Aqidah dan Manhaj (metode memahami agama). (Anda semua telah mendengarkan), seluruh penjelasannya ternyata sangat berkaitan dengan "QoolaLLah" (Allah berfirman) dan "Qoola Rosulullah ShollaLLahu 'alayhi wa sallam" ( Rosulullah ShollaLLahu 'alayhi wa sallam bersabda).

Jauh dari segala opini pribadi, perkataan manusia, prediksi, dan prasangka. Da'wah seperti inilah yang benar-benar warisan ajaran ke-Nabian. Da'wah seperti inilah yang benar-benar layak, pantas dan berhak dibawa oleh ummat, dan diwariskan dari generasi ke generasi, sejak generasi pertama umat ini yang terang-benderang, hingga saat ini, dan hingga Allah menghendaki konsistensi da'wah ini tetap berlangsung.

Ad-da'wah As-Salafiyah adalah da'wah Islam. Da'wah ini murni, tanpa tambahan2, hiasan2, atau dekorasi2. Ad-da'wah As-Salafiyah adalah da'wah menuju al-Qur`an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful-Ummah. Jika hanya satu shifat (point) ini saja yang disampaikan kepada setiap orang yang berakal dan berfikir, pastilah sudah cukup, tanpa perlu penjelasan lebih lanjut yang berkepanjangan.

(Potongan ucapan Asy-Syaikh 'Aliy Hasan Al-Halabiy al-Atsary -hafizhohullah-, nuqilan dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007)

Sebagian orang mengira Salafiy adalah sebuah sekte, aliran sebagaimana Jama’ah Tabligh, Ahmadiyah, Naqsyabandiyyah, LDII, dll. Atau sebuah organisasi massa sebagaimana NU, Muhammadiyah, PERSIS, Ikhwanul-Muslimin, Hizbut-Tahrir, dll. Ini adalah salah kaprah. Salafiy bukanlah sekte, aliran, partai atau organisasi massa, namun Salafiy adalah Manhaj (metode beragama), sehingga semua orang di seluruh pelosok dunia di manapun dan kapanpun adalah seorang salafyi jika ia beragama Islam dengan Manhaj Salaf tanpa dibatasi keanggotaan.

Sebagian orang juga mengira Da'wah Salafiyyah adalah gerakan yang dicetuskan dan didirikan oleh Syaikh Muhammad Bin 'Abdul-Wahab. Ini pun kesalahan besar! Dijelaskan oleh Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiriy yang ringkasnya, “Da'wah Salafiyyah tidak didirikan oleh seorang manusia pun. Bukan oleh Syaikh Muhammad Bin 'Abdul-Wahab bersama saudaranya Imam Muhammad Bin Su’ud, tidak juga oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, bukan pula oleh Imam MaDdzhab yang empat, bukan pula oleh salah seorang Tabi’in, bukan pula oleh Shohabat, bukan pula oleh Nabi -shollaLLahu 'alayhi wa sallam-, dan bukan didirikan oleh seorang Nabi pun. Melainkan Da'wah Salafiyyah ini didirikan oleh Allah Ta’ala. Karena para Nabi dan orang sesudah mereka menyampaikan Syari'at yang berasal dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan rujukan melainkan Nash dan Ijma' (kesepakatan salaf).” (Ushul Wa Qowa'id Fii Manhajis-Salaf)

Oleh karena itu, dalam Da'wah Salafiyyah tidak ada Ketua Umum Salafiy, Salafiy Cabang..., Salafiy Daerah..., Tata tertib Salafiy, AD ART Salafiy, Alur Kaderisasi Salafiy, dan tidak ada Mu'assis (tokoh pendiri) Salafiy. Tidak ada pendiri Salafiy melainkan Allah dan Rosul-Nya, tidak ada AD-ART Salafiy melainkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para Shohabat (yakni, generasi terawal/pertama Islam bermula).

(Dinuqil dari potongan artikel At-Tauhid edisi V/18, oleh: Yulian Purnama)

Semoga dapat difahami secara jelas artikel sengaja kami susun secara ringkas ini, yang juga dikhususkan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang masih mengganjal dari orang awwam seputar Da'wah Salafiyyah secara umum di mata kaum muslimin secara keseluruhan.

Nas'alullahut-taufiq wal-'afiyah, wallahu ta'ala a'lam bish-showwab...

13 Februari 2011

Hukum Tepuk Tangan

applause_tepuk_tanganPara ulama menjelaskan bahwa tepuk tangan itu khusus bagi wanita dan tidak layak bagi laki-laki sebagaimana kita dapat menemukan hal ini pada hadits-hadits yang membicarakan bagaimanakah wanita menegur imam ketika imam keliru. Dalam hadits disebutkan,
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)
Lalu bagaimana menepuk tangan di luar shalat, artinya dalam keadaan tidak butuh?
Dalam ensiklopedia fiqh (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah) dijelaskan:
Tepuk tangan di luar shalat dan bukan di saat waktu khitbah (wanita dilamar), itu dibolehkan jika memang ada hajat yang memang benar-benar dibutuhkan. Contohnya saja adalah ketika memberi izin, mengingatkan, memperbagus lantunan nasyid[1], atau sekedar seorang wanita bermain-main dengan anak-anaknya.
Adapun jika itu bukan karena hajat (kebutuhan mendesak), maka telah ditegaskan oleh para ulama akan haramnya dan sebagian ulama menyatakannya makruh.
Para ulama menyatakan bahwa perbuatan semacam itu adalah permainan yang sia-sia atau termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai) amalan ibadah orang-orang Jahiliyah ketika mereka berada di sekeliling Ka’bah,

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
Sembah yang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al Anfal: 35)
Para ulama juga beralasan terlarangnya perbuatan tersebut karena itu termasuk tasyabbuh (meniru-niru kelakuan) wanita. Karena dalam hadits disebutkan bahwa hal semacam itu hanya khusus bagi wanita ketika wanita memperingatkan imam saat shalat. Sedangkan ketika itu, laki-laki mengingatkan imam dengan ucapan tasbih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 12/82-83)
***
Dari sini, maka silakan menilai bagaimanakah kelakukan para suporter bola dengan bertepuk tangan! Lihat pula tingkah laku para fans lainnya ketika melihat idolanya! Atau lihat pula tindakan penonton saat memberi applause pada pembicara yang baru saja menyajikan materinya di depan! Itu jelas bukan suatu yang ada hajat.

Wallahu waliyyut taufiq.

Riyadh, KSA, 6 Safar 1432 H (10/01/2011)
www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal

12 Februari 2011

Bolehkah Memperingati Maulid Nabi?

Penulis: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
.: :.
Sungguh banyak sekali pertanyaan yang diajukan oleh kebanyakan kaum muslimim tentang hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam dan hukum mengada...kannya setiap kelahiran beliau.

Adapun jawabannya adalah : TIDAK BOLEH merayakan peringatan maulid nabi karena hal itu termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini, karena Rasulullah tidak pernah merayakannya, tidak pula para Khulafaur Rasyidin dan para Sahabat, serta tidak pula para tabi’in pada masa yang utama, sedangkan mereka adalah manusia yang paling mengerti dengan As-Sunnah, paling cinta kepada Rasulullah, dan paling ittiba’ kepada syari’at beliau dari pada orang–orang sesudah mereka.

Dan sungguh telah tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Barang siapa mengadakan perkara baru dalam (agama) kami ini yang tidak ada asal darinya, maka perkara itu tertolak. “(HR. Bukhari Muslim).

Dan beliau telah bersabda dalam hadits yang lain : “(Ikutilah) sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diadakan-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits ini hasan shahih).

Dalam kedua hadits ini terdapat peringatan yang keras terhadap mengada-adakan bid’ah dan beramal dengannya. Sungguh Alloh telah berfirman : “Apa yang telah diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. “(QS. Al-Hasyr : 7).
Alloh juga berfirman : “Maka hendaknya orang yang menyalahi perintah-Nya, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. “(QS. AN-Nuur : 63).

Allah juga berfirman : “Orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Dan Allah menyediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar. “(QS. At-Taubah : 100).

Allah juga berfirman : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agamamu. “(QS. Al Maidah : 3). Dan masih banyak ayat yang semakna dengan ini.

Mengada-adakan Maulid berarti telah beranggapan bahwa Allah ta'ala belum menyempurnakan agama ini dan juga (beranggapan) bahwa Rasulullah belum menyampaikan seluruh risalah yang harus diamalkan oleh umatnya. Sampai datanglah orang-orang mutaakhirin yang membuat hal-hal baru (bid’ah) dalam syari’at Allah yang tidak diijinkan oleh Allah.

Mereka beranggapan bahwa dengan maulid tersebut dapat mendekatkan umat islam kepada Allah. Padahal, maulid ini tanpa di ragukan lagi mengandung bahaya yang besar dan menentang Allah dan Rasul-Nya karena Allah telah menyempurnan agama Islam untuk hamba-Nya dan Rasulullah telah menyempurnakan seluruh risalah sampai tak tertinggal satupun jalan yang dapat menghubungkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah meyampaikan kepada umat ini.

Sebagimana dalam hadits shohih disebutkan, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib atas nabi itu menunjukkan kebaikan dan memperingatkan umatnya dari kejahatan yang Allah ajarkan atasnya. “(HR. Muslim).

Dan sudah diketahui bahwa Nabi kita adalah Nabi yang paling utama dan penutup para Nabi. Beliau adalah Nabi yang paling sempurna dalam menyampaikan risalah dan nasehat. Andaikata perayaan maulid termasuk dari agama yang diridhoi oleh Allah, maka pasti Rasulullah akan menerangkan hal tersebut kapada umatnya atau para sahabat melakukannya setelah wafatnya beliau.

Namun, karena tidak terjadi sedikitpun dari maulid saat itu, dapatlah di ketahui bahwa Maulid bukan berasal dari Islam, bahkan termasuk dalam bid’ah yang telah Rasulullah peringatkan darinya kepada umat beliau. Sebagaimana dua hadits yang telah lalu. Dan ada juga hadits yang semakna dengan keduanya, diantaranya sabda beliau dalam khutbah Jum’at : “Amma ba’du, maka sebaik-baiknya perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang di ada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat. “(HR. Muslim).

Ayat-ayat dan hadits-hadits dalam bab ini banyak sekali, dan sungguh kebanyakan para ulama telah menjelaskan kemungkaran maulid dan memperingatkan umat darinya dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang tersebut di atas dan dalil-dalil lainnya.

Namun sebagian mutaakhirin (orang-orang yang datang belakangan ini) memperbolehkan maulid bila tidak mengandung sedikitpun dari beberapa kemungkaran seperti : Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah, bercampurnya wanita dan laki-laki, menggunakan alat-alat musik dan lain-lainnya, mereka menganggap bahwa Maulid adalah termasuk BID’AH HASANAH, sedangkan kaidah Syara’ (kaidah-kaidah / peraturan syari’at ini) mengharuskan mengembalikan perselisihan tersebut kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman :
“ Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri dari kalian maka bila terjadi perselisihan di antara kalian tentang sesuatu kembalikanlah kepada (kitab) Allah dan (sunnah) RasulNya bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir demikian itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya. “(QS. Ann Nisaa’ : 59).
Allah juga berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu berselisih, maka putusannya (harus) kepada (kitab) Allah, “(QS. Asy Syuraa : 10).

Dan sungguh kami telah mengembalikan masalah perayaan maulid ini kepada kitab Allah. Kami mendapati bahwa Allah memerintahkan kita untuk ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah terhadap apa yang beliau bawa dan Allah memperingatkan kita dari apa yang dilarang. Allah juga telah memberitahukan kepada kita bahwa Dia - Subhanahu wa Ta’ala - telah menyempurnakan Agama Islam untuk umat ini. Sedangkan, perayaan maulid ini bukan termasuk dari apa yang dibawa Rasulullah dan juga bukan dari agama yang telah Allah sempurnakan untuk kita.

Kami juga mengembalikan masalah ini kepada sunnah Rasulullah. Dan kami tidak menemukan di dalamnya bahwa beliau telah melakukan maulid. Beliau juga tidak memerintahkannya dan para sahabat pun tidak melakukannya. Dari situ kita ketahui bahwa maulid bukan dari agama Islam. Bahkan Maulid termasuk bid’ah yang diada-adakan serta bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang yahudi dan nasrani dalam perayaan-perayaan mereka. Dari situ jelaslah bagi setiap orang yang mencintai kebenaran dan adil dalam kebenaran, bahwa perayaan maulid bukan dari agama Islam bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan yang mana Allah dan Rasulnya telah memerintahkan agar meningggalkan serta berhati-hati darinya.

Tidak pantas bagi orang yang berakal sehat untuk tertipu dengan banyaknya orang yang melakukan Maulid di seluruh penjuru dunia, karena kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pelaku, tapi diukur dengan dalil-dalil syar’i, sebagaimana Allah berfirman tentang Yahudi dan Nasrani : “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata : ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani’. Demikianlah itu (hanya) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah :’ Tunjukkanlah bukti kebenaran jika kamu adalah orang yang benar .” (QS. Al Baqarah : 111).
Allah juga berfirman : “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. “(QS. Al An’aam : 116 ). Wallahu a’lamu bis-shawab.

Maroji’ :
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ilyas Agus Su’aidi As-Sadawy dari kitab At-Tahdzir minal Bida’, hal 7-15 dan 58-59, karya Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz rahimahullah. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dalam bebrapa rujukan berikut :
1. Mukhtashor Iqtidho’ Ash Shirot Al Mustaqim (hal. 48-49) karya ibnu Taimiyah.
2. Majmu’u Fataawa (hal. 87-89) karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.

Sumber :
BULETIN DAKWAH AT-TASHFIYYAH, Surabaya Edisi : 15 / Robi’ul Awal / 1425 HUKUM MEMPERINGATI Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam.

30 Desember 2010

HUKUM CADAR

HUKUM MENUTUP MUKA BAGI WANITA (CADAR)  
Oleh  Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani ditanya: “Bagaimana hukum wanita menutup muka (cadar) ?”

Jawaban.
Kami tidak mengetahui ada seorang dari sahabat yang mewajibkan hal itu. Tetapi lebih utama dan lebih mulia bagi wanita untuk menutup wajah. Adapun mewajibkan sesuatu harus berdasarkan hukum yang jelas dalam syari’at. Tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah.
Oleh karena itu saya telah membuat satu pasal khusus dalam kitab “Hijabul Mar’aatul Muslimah”, untuk membantah bahwa menutup wajah wanita adalah bid’ah. Saya telah jelaskan bahwa hal ini (menutup wajah) adalah lebih utama bagi wanita.
Hadits Ibnu Abbas menjelaskan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam ‘Al-Mushannaf’.

Pendapat kami adalah bahwa hal ini bukanlah hal baru. Para ulama dari kalangan “As Salafus Shalih” dan para ahli tafsir seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lain-lain mengatakan bahwa wajah bukan termasuk aurat tetapi menutupnya lebih utama.
Sebagian dari mereka berdalil bahwa tentang wajibnya menutup wajah bagi wanita dengan kaidah.
“Artinya: Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemanfaatan”
Tanggapan saya.
Memang kaidah ini bukan bid’ah tapi sesuatu yang berdasarkan syari’at. Sedangkan orang yang pertama menerima syari’at adalah Rasulullah ‘alaihi wa sallam. Kemudian orang-orang yang menerima syari’at dari beliau adalah para shahabat. Para Shahabat tentu sudah memahami kaidah ini, walaupun mereka menyusunnya dengan tingkatan ilmu ushul fiqih seperti di atas.

Ayyamul Biidh

Assalamu'alaikum ^___^
sahabat, dah pernah denger puasa pertengahan bulan??
Puasa tengah bulan (bulan hijriah) sering disebut sebagai puasa ayyaamul biidh (أيام البيض) , yaitu puasa pada hari ke 13, 14 dan 15 setiap bulan, baik bulan itu berumur 29 hari atau 30 hari.
Imam Bukhari menulis sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul :
 صيام أيام البيض ثلاث عشرة وأربع عشرة وخمس عشرة (puasa hari-hari biidh (hari putih/purnama), hari ke 13, 14 dan 15).

Puasa ini hukumnya adalah sunnah untuk dibiasakan setiap bulan. Dasarnya adalah hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ صِيَامِ : ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى ، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallaahu ‘anhu bahwa dia berkata : “Kekasihku, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat kepadaku dengan tiga hal, yaitu : berpuasa tiga hari setiap bulan, melakukan shalat dua raka’at dhuha dan melaksanakan shalat witir sebelum tidur”. (HR (Bukhari, VII, hal 98, hadits no. 1845 dan Muslim, IV, hal. 48, no. 1182)

Demikian juga sebuah hadits :
عَنْ أبَيْ ذَرٍّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
Dari Abu Dzar bahwa dia berkata : “Rasulullah shallaahu ‘alaihi wasallam bersada : “Wahai Abu Dzar, jika kamu berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah pada hari ke 13, 14 dan 15”. (HR Turmudzi, III, hal. 230, no. 692 dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah di dalam kitabnya Shahih Ibnu Huzaimah, III, hal. 302, no. 2128)

Adapun keutamaannya adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi setelah beliau meriwayatkan hadits di atas :
مَنْ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ كَانَ كَمَنْ صَامَ الدَّهْرَ
Barangsiapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, makaseolah-olah dia seperti orang yang berpuasa selama-lamanya (sepanjang masa).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, XI/ 228, no. 3166; Ibnu Majah, V/230, no. 1697.

Penjelasannya adalah bahwa seperti yang disebutkan dalam hadits-hadits yang lainnya bahwa amalan setiap muslim itu dilipatkandakan 1 berbanding sepuluh. Satu amalan dianggap 10 amalan. Jadi orang yang berpuasa tiga hari dianggap berpuasa 30 hari. Jadi dia dianggap berpuasa sepanjang bulan itu, sepanjang tahun itu, dan selamanya.

Apakah rahasia dari Ayamul Bidh ini sehingga Rasulullah tak pernah luput dari mengerjakannya?
Dan mengapa pula dianjurkan pada tanggal-tanggal itu?

Begini…, sudah kita ketahui bahwa pertengahan bulan Hijriah adalah waktu munculnya bulan purnama. Nah, saat bulan purnama bersinar (kayak lagu aja,xixixiii…), terjadilah yang namanya pasang air laut. Letak bulan yang dekat dengan bumi menyebabkan gaya grafitasi bulan mempengaruhi ketinggian air laut dimuka bumi, dan terjadilah pasang air laut.

Terus??
Ternyata, grafitasi dari bulan ini tak hanya mempengaruhi kondisi bumi (benda mati) tetapi juga benda hidup. Terutama manusia.
Lho? Kok bisa?
Seorang peneliti berkebangsaan Amerika pernah mengadakan penelitian mengenai kondisi kejiwaan manusia ketika terjadi bulan purnama. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kondisi kejiwaan manusia saat bulan purnama cenderung lebih labil, emosional, dan tidak terkendali. Semua perasaan menjadi mudah membuncah dari dalam diri. Mudah marah, mudah tersinggung, mudah senang, mudah sedih, pokoknya semua sifat yang ada pada dirinya menjadi lebih mudah ter‘upload’ dari dirinya. Mungkin inilah salah satu penyebab banyak mitos dan film yang mengaitkan antara monster atau hantu dengan bulan purnama.

Coba kita perhatikan dua fenomena ini.
Puasa, pada dasarnya menuntun kita agar menundukkan nafsu kita. Ketika kita berpuasa, kita dituntut untuk dapat mengendalikan emosi kita dan menjaga syahwat kita.
Ketika ilmu sains modern mengungkapkan adanya kelabilan emosi manusia saat bulan purnama, Islam telah menganjurkan untuk melaksanakan puasa tepat saat munculnya sang bulan purnama. Islam telah memberi jalan pada umatnya agar tidak terkena pengaruh kelabilan emosi yang terjadi pada tanggal tersebut. Rasulullah menganjurkan kita berpuasa, agar hati kita selalu terjaga dari amarah, nafsu, dan segala sifat buruk lain yang cendrung lebih meluap pada saat itu dibanding saat-saat lainnya.
Subhanallah...

Inilah hikmah di balik sunnah.
Tak heran jika Rasul tak pernah meninggalkan ayyamul bidh. Tak heran pula jika Rasulullah menganjurkan kita untuk berpuasa 3 hari setiap bulan, terutama pada pertengahan bulan. Ternyata anjuran tersebut memiliki rahasia yang tak disangka-sangka. Ternyata memang segala amalan yang dianjurkan dalam Islam ini selalu memiliki hikmah yang tersembunyi yang luar biasa dahsyatnya. Lalu, masihkan ragu dan malas-malasan melaksanakan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah?

* dari berbagai sumber